A. Pendahuluan
Satuan Pengamanan (Satpam) [1][1] sangat menarik untuk dibahas, karena kita mengetahui bahwa Satpam
merupakan unsur yang sangat penting dan strategis dalam membantu tugas-tugas
Polri selaku institusi yang dikedepankan oleh negara dalam memelihara keamanan
dan ketertiban masyarakat dalam negeri. Karena jika dibandingkan/diperhatikan
luas wilayah, jumlah penduduk, ragam tingkat kehidupan ekonomi, politik,
sosial, budaya, dan segala fenomena sosial yang menyertainya. Eksistensi Polri
baik dilihat dari jumlah maupun kualitas sumber daya yang ada sampai saat ini
belum cukup untuk meujudkan keamanan dan ketertiban bagi seluruh lapisan
masyarakat. Untuk itulah diperlukan berbagai elemen dari masyarakat untuk
membantu tugas-tugas Polri dalam menciptakan dan memelihara keamanan
ditengah-tengah masyarakat. Dengan demikian sifat keberadaan Satpam di
lingkungan dimana ia bertugas merupakan satu bentuk pengamanan yang diadakan
atas kemauan/inisiatif/kesadaran dan kepentingan pengamanan sekelompok
masyarakat atau korporasi. Apabila setiap lingkungan masyarakat sudah tertib,
maka dengan sendirinya sangat membantu Polri dalam mewujudkan perannya sebagai stakeholder yang dikedepankan dalam
menjaga keamanan dalam negeri.
Dalam Pasal 3 UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri ditentukan:
”(1) Pengemban
fungsi Kepolisian adalah Kepolisian Negara RI yang dibantu oleh:
a.
kepolisian khusus;
b.
penyidik pegawai negeri sipil;
dan/atau
c.
bentuk-bentuk pengamanan swakarsa.
(2)
Pengemban fungsi kepolisian
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, b, dan c melaksanakan fungsi
kepolisian sesuai dengan peraturan perundang-undangan yaang menjadi dasar
hukumnya masing-masing.”
Dalam perkembangan pertumbuhan
Satpam saat ini sudah sedemikian pesatnya dan merupakan salah satu lapangan
kerja yang relatif banyak menyerap tenaga kerja dalam berbagai bidang usaha
(korporasi) dan pemukiman penduduk, namun bila diperhatikan masih banyak
anggota Satpam belum terdidik dengan baik, yang penting menggunakan seragam
Satpam, sehingga kurang mengerti apa yang menjadi tugas dan kewajibannya.
Disamping itu masih ada beberapa instansi pemerintah yang merekrut dan mendidik
anggota Satpam tanpa bekerja sama dengan instansi kepolisian setempat, sehingga
keberadaan Satpam tersebut kurang mengerti apa yang menjadi tugas dan wewenangnya
terutama kalau terjadi suatu kejadian, dan bagaimana follow up-nya.
Konsitusional UUD RI 1945 sebagai
norma dasar telah memandang bahwa masalah keamanan begitu penting dan sangat
menentukan dalam kelangsungan eksistensi suatu Negara. Oleh karena itu tanpa
keamanan, tujuan negara yang telah ditetapkan dalam Konstitusi UUD RI 1945 tidak akan tercapai. Selanjutnya di
dalam mewujudkan keamanan tidak akan
dapat dilaksanakan sendiri oleh negara melalui alat-alat perlengkapannya, oleh
karena itu harus dibantu oleh masyarakat, dengan kata lain partisipasi
masyarakat dalam meujudkan kemanan negara merupakan prinsip yang sangat
mendasar sebagaimana ditentukan dalam pasal Pasal 30 ayat (2) UUD 1945 telah
dimuat mengenai:
”Usaha pertahanan dan keamanan negara
dilaksanakan melalui sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta oleh Tentara
Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Indonesia Republik Indonesia, sebagai
kekuatan utama, dan rakyat, sebagai kekuatan pendukung.”
Sayangnya bagaimana keketerlibatan
rakyat sebagai kekuatan pendukung dalam pelaksanaan keamanan nasional belum
diatur dalam bentuk peraturan perundang-undangan sebagaimana yang diamanatkan
oleh Pasal 30 ayat (5) UUD RI 1945: “Susunan dan kedudukan Tentara Nasional
Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia, hubungan kewenangan Tentara
Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia di dalam
menjalankan tugasnya, syarat-syarat keikutsertaan warga negara dalam usaha
pertahanan dan keamanan diatur dengan undang-undang.” Padahal politik hukum
yang diletakkan/dicitakan oleh dalam
Pasal 30 ayat (5) akan terkait antara lain dengan:
(1)
prinsip-prinsip
atau asas-asas pelaksanaan keikutsertaan masyarakat dalam keamanan;
(2) syarat-syarat keikutsertaan warga
negara untuk usaha pelaksanaan keamanan;
(3) hak-hak dan kewajiban setiap masyarakat
dalam pelaksanaan keamanan khususnya
di lingkungannya;
(4)
bagaimana pertanggungjawaban
setiap warga negara dalam pelaksanaan keamanan dan cara-cara pelaksanaan
pelibatan setiap warga negara; dan
(5) bagaimana pengawasan pelaksanaan
keamanan.
B.
Konsepsi Tentang Keamanan
Bahwa salah satu tujuan negara adalah memberikan perlindungan kepada
warganya sebagaimana disebutkan dalam teori perjanjian sosial (due contra social) oleh Thomas Hobbes bahwa masyarakat telah
menyerahkan hak-hak alaminya kepada negara yang dibentuk atas kekuatan
perjanjian, oleh karena itu negara wajib menjamin hak-hak setiap warga negara
antara lain termasuk hak untuk hidup aman dan tenteram dari gangguan atau
serangan sesama, sebab sasaran pertama negara adalah menjamin keamanan. Agar
keamanan dapat dijamin, negara harus kuat[2][2], dan negara
memegang peranan mutlak dalam menentukan apa yang baik dan seharusnya bagi
rakyatnya.[3][3] Tujuannya
adalah agar keadaan tidak menjadi kacau, harus ada lembaga yang kuat untuk
mengarahkan inividu-individu dalam masyarakat.
Menyikapi teori yang dikemukan oleh Thomas Hobbes, maka setiap umat manusia
di dunia ini pasti memerlukan rasa aman[4][4], aman dari
berbagai gangguan yang dapat mengganggu seseorang dalam melaksanakan
eksistensinya, atau dengan kata lain aman bagi setiap manusia atau masyarakat
dalam melaksanakan daya dan usahanya dalam melaksanakan kegiatan sehari-hari,
(aman diperjalanan pada saat bepergian, aman pada saat bekerja/berusaha, aman
di tempat tinggal/pemukiman, dan lain-lain). Pada saat terjadi gangguan atau
ancaman terhadap kehidupan seseorang atau kelompok, secara individu atau dalam
ikatan kelompok manusia selalu berusaha untuk melindungi dirinya agar terhindar
dari berbagai ancaman yang mengganggu bahkan yang lebih ekstrim terhindar dari
acaman yang dapat meniadakan eksistensi seseorang.
Karena demikian pentingnya keamanan diciptakan dan dipelihara agar
pembangunan dapat terlaksanakan dengan baik, maka dalam konsiderans UU Nomor 2
Tahun 2002 tentang Polri ditentukan:
”Keamanan dalam negeri merupakan syarat utama untuk mendukung terujudnya
masyarakat madani yang adil dan makmur dan
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.”
Konsideran sebagaimana yang terdapat dalam UU Nomor 2 Tahun 2002 tersebut
sejalan dengan hakekat tentang keamanan sebagaimana telah dikenal dalam doktrin
yang disebut “tata tentram kerta raharja”
yaitu sebagai suatu gambaran dalam melaksanakan upaya menuju cita-cita rakyat
menuju adil dan makmur melalui pemeliharaan situasi yang kondusif bagi
kelancaran pembangunan. Adapun pengertian dari masing-masing istilah tersebut
adalah sebagai berikut:[5][5]
a.
tata: yaitu dilaksanakan melalui penegakan aturan hukum di
dalam masyarakat akan terwujud tatanan kehidupan yang teratur dan tertib;
b.
tentram: terpeliharanya tata tertib dalam kehidupan masyarakat
akan menimbulkan rasa tentram warga masyarakat;
c.
kerta: suasana yang tentram dan damai menjamin kelancaran
kegiatan berproduksi/meningkatkan gairah kerja;
d.
raharja: meningkatkan gairah kerja akan meningkatkan
produktivitas, sehingga tercapailah kesejahteraan rakyat.
Terkait dengan masalah ”aman” dapat diberikan beberapa pengertian yaitu:[6][6]
a. Security: aman dari gangguan atau ancaman yang dapat
membahayakan;
b. Safety: selamat dari kecelakaan, bencana atau marah bahaya yang
dapat mengancam keselamatan kehidupan individu, masyarakat termasuk harta
benda;
c. Surety: jaminan adanya kepastian/keyakinan suatu kegiatan dapat
berlangsung lancar, aman dan tertib, termasuk jaminan adanya kepastian hukum (certainty) dan
d. Peace: suasana damai
dan tentram.
Dengan demikian
prinsip pelaksanaan keamanan tidak terlepas dari unsur pengayoman yang wajib
diberikan oleh negara melalui alat perlengkapannya (antara lain elemen-elemn dari
pemerintah) kepada warganya. Pelaksanaan pengayoman itu dilakukan dengan usaha
untuk mewujudkan:[7][7]
a.
ketertiban dan
keteraturan yang memunculkan prediktabilitas;
b.
kedamaian yang
berketenteraman;
c.
keadilan
(distributif, komutatif, vindikatif, protektif);
d.
kesejahteraan
dan keadilan sosial; dan
e.
pembinaan
akhlak luhur.
Konsitusional UUD RI 1945 sebagai norma dasar telah memandang bahwa masalah
keamanan begitu penting dalam kelangsungan eksistensi suatu negara, oleh karena
itu tanpa keamanan, tujuan negara yang telah ditetapkan dalam Konstitusi UUD RI
1945 tidak akan tercapai. Selanjutnya di dalam mewujudkan keamanan tidak akan
dapat dilaksanakan sendiri oleh negara secara formal (supra struktur) melalui
alat-alat perlengkapannya. Oleh karena itu harus dibantu oleh masyarakat,
dengan kata lain partisipasi masyarakat dalam mewujudkan keamanan negara
merupakan prinsip yang sangat mendasar sebagaimana ditentukan dalam pasal Pasal
30 ayat (2) UUD 1945 telah dimuat mengenai:
”Usaha
pertahanan dan keamanan negara dilaksanakan melalui sistem pertahanan dan
keamanan rakyat semesta oleh Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara
Indonesia Republik Indonesia, sebagai kekuatan utama, dan rakyat, sebagai kekuatan
pendukung.”
Pemberdayaan masyarakat agar turut serta berpartisipasi dalam memikirkan,
dan melaksanakan keamanan di lingkungannya merupakan penjabaran dari pengamanan
swakarsa baik yang telah ditetapkan dalam norma dasar UUD RI 1945 (Pasal 30
ayat (4) maupun dalam UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri (Pasal 3 ayat (1)
huruf c), merupakan bagian dari pelaksaaan pemolisian masyarakat yang mendasari
pemahaman bahwa untuk menciptakan kondisi aman dan tertib tidak mungkin
dilakukan oleh Polri sepihak sebagai subjek dan masyarakat sebagai objek,
melainkan harus dilakukan secara bersama-sama oleh polisi dan masyarakat dengan
cara memberdayakan masyarakat melalui kemitraan Polri dengan warga masyarakat,
sehingga secara bersama-sama mampu mendeteksi solusi untuk mengantisipasi
permasalahannya dan mampu memelihara keamanan serta ketertiban dilingkungannya.[8][8]
Sebenarnya kalau dikembalikan kepada kultur asli Indonesia adanya politik
hukum mengenai perlunya partisipasi masyarakat untuk menciptakan, memelihara/menjaga
keamanan dan ketertiban di lingkungan masyarakat merupakan bagian dari prinsip hidup asli
bangsa Indonesia yang selalu menekankan ”gotong royong” dalam mengatasi atau
memecahkan persoalan di tengah-tengah masyarakat, antara lain agar dilakukan
pengamanan secara bersama-sama (saat ini sering disebut ronda
malam/siskamling).
C.
Eksistensi Satpam
Eksistensi Satpam adalah menyangkut
keberadaannya, baik dilihat dari tugas, fungsi, wewenang dan perannya membantu
Polri dalam melaksanakan tugas-tugas kepolisian secara terbatas, artinya hanya
terkait dengan tugas-tugas kepolisian di bidang penegakan hukum bersifat
pencegahan (preventif)
dilingkungannya bertugas sebagai Satpam, bukan melakukan penegakkan hukum (law enforcement) yang bersifat penindakan atau repressif, kecuali dalam hal tertangkap
tangan[9][9], semua orang
berhak melakukan penangkapan dan segera setelah melakukan penangkapan segera
menyerahkan tersangka beserta barang bukti ke kantor Polri yang terdekat.
Dalam penjelasan Pasal 3 ayat (1) hruf
c UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri disebutkan:
“Yang dimaksud dengan “bentuk-bentuk pengamanan swakarsa” adalah suatu bentuk pengamanan yang diadakan
atas kemauan, kesadaran, dan kepentingan masyarakat sendiri yang kemudian
memperoleh pengukuhan dari Kepolisian Negara RI., seperti satuan pengamanan
lingkungan dan badan usaha di bidang jasa pengamanan.”
”Bentuk-bentuk Pengamanan Swakarsa memiliki kewenangan kepolisian terbatas
dalam “lingkup kuasa tempat” (teritorial gebied/ ruimte gebied) meliputi
lingkungan pemukiman, lingkungan kerja, lingkungan pendidikan. Contohnya
adalah satuan pengamanan lingkungan di pemukiman, satuan pengamanan pada satuan
pada pertokoan. Pengaturan mengenai pengamanan swakarsa merupakan kewenangan Kapolri.”
Lebih lanjut ditentukan dalam pasal 14 ayat (1) huruf f yang berbunyi:
“(1) Dalam
melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 Polri bertugas:
melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap kepolisian khusus, penyidik PPNS dan
bentuk-bentuk pengamanan swakarsa.”
Menyikapi rumusan penjelasan dari Pasal 3 ayat (1) huruf a jo. Pasal 14 ayat (1) huruf f,
pengukuhan dan pengaturan mengenai eksistensi Satpam berada di tangan Polri.
Untuk jabaran ketentuan tersebut, Kapolri telah menerbitkan dasar hukum berupa Peraturan Kapolri Nomor 24
Tahun 2007 tentang Sistem Menejemen Pengamanan Organisasi Perusahaan dan/atau
Instansi/Lembaga Pemerintah.
Dalam Pasal 6 Perkap tersebut ditentukan mengenai tugas[10][10], fungsi[11][11], dan peranan[12][12] Satpam. Oleh karena itu Satpam
dalam melaksanakan tupoksinya yaitu menyelenggarakan keamanan dan ketertiban di
lingkungan/tempat kerjanya merupakan unsur yang membantu tupoksi dan peran
Polri wajib senantiasa memperhatikan dan melaksanakan sistem manejemen
pengamanan mulai dari prencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengawasan
agar menghasilkan tujuan yang diharapkan oleh lingkungan, organisasi atau
korporasi dimana Satpam bertugas demi menambah nilai tambah
perusahaan/korporasi berupa rasa aman
yang kondusif dan berlangsung secara terus menerus.
Tugas-tugas kepolisian terbatas yang dapat dilaksanakan oleh Satpam antara
lain melakukan:
a.
pengaturan;
b.
penjagaan;
c.
patroli
dilingkungan kerja/korporasi;
d.
mencatat-kejadian-kejadian
yang mecurigakan;
e.
melaporkan
kepada Polri dan atasan Satpam kalau ada peristiwa pidana yang terjadi
dilingkungan kerjanya;
f.
menangkap
seseorang yang sedang berbuat pidana (kejahatan/pelanggaan);
g.
mengamankan
Tempat Kejadian Perkara (TKP) yang terjadi dilingkungan kerjanya;
h.
segera menolong
korban.
Satpam disebut sebagai unsur pembantu Polri dalam melaksanakan tupoksi dan
perannya, maka dalam ini bukan berarti Satpam berkedudukan sebagai sub ordinasi
dari Polri melainkan hanya membantu secara fungsional tugas-tugas kepolisian
secara terbatas. Atas kedudukan Satpam tersebut ada pihak-pihak tertentu yang kurang mengerti
ketentuan dimaksud dan bahkan walaupun telah mengerti, karena alasan
“komersial” (tanda petik dari penulis) dapat dijadikan sebagai suatu alasan
untuk merekayasa agar pembinaan/pengukuhan Satpam tidak hanya berada di tangan
Polri, namun intansi pemerintah lainnya juga dapat melakukan pembinaan/
pengukuhan. Dalam kesistiman baik mulai
dari pendidikan, pembinaan teknis-teknis dan taktis pelaksanaan tugas-tugas
kepolisian secara terbatas dilingkungan tempat tinggal/korporasi Satpam
bertugas, kalau tidak berada di bawah pengawasan dan pembinaan Polri selaku Stakeholder dan yang
dikedepankan dalam meujudkan Kamtimas dapat menimbulkan ketidakpastian hukum
bahkan melanggar hukum.
Untuk mengatasi hal-hal yang demikian, maka Polri harus senantiasa aktif
memberikan pembinaan agar pemahaman terhadap esksitensi Satpam termasuk
pembinaan baik pembinaan teknis Kepolisian maupun sistem manajemen pembinaan
atas Satpam dapat dilaksanakan secara seragam demi tercapainya Kamtimas
yang kondusif, terutama dalam menjelang
Pemilu yang akan segera dilaksanakan, karena situasi politik yang memanas yang
dapat berimplikasi timbulnya gangguan terhadap Kamtimas. Sekaligus juga Polri
harus senantiasa melakukan koordinasi dan/atau pengawasan terhadap
lembaga-lembaga/ korporasi penyedia jasa tenaga perekrutan dan penyaluran
Satpam, karena saat ini usaha korporasi atau korporasi di bidang penyedia
tenaga Satpam raltif cukup menjanjikan dari segi finasial.
http://gabebhara.blogspot.co.id/2011/08/landasan-hukum-batas-wewenang-dan.html
Sabtu,
20 Agustus 2011
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR BUKU
1.
Anak Agung Bayu
Perwita, Sistem Pertahnan dan Keamanan
Negara, Propatria, Jakarta, 2006, cet. 1.
2.
Artidjo
Alkostar, Tuntutan Polisi Dalam
Mengantisipasi Perkembangan Kejahatan: Dalam Polisi dan Masyarakat, Senat
Mahasiswa H UII, Yogyakarta, 1995.
3.
Budihardjo, Tata Ruang Pembangunan Daerah Untuk
Meningkatkan Ketahanan Nasional,
University Press, Yogyakarta, 1995, cet. 1.
4.
Dean G. Pruitt dan Jeffrey Z. Rubin,
Teori Konflik Sosial, Pustaka
Pelajar, Jakarta, 2004, cet. 1, (diterjemahkan oleh Helly P. Soetjipto dan Sri
Mulyantini Soetjipto dari judul asli: Social Conflict).
5.
George P. Fletcher, Basic Comcept of Legal Thought, Oxford University Press, New York, 1996.
6.
J. Brady Anderson, Promoting The
Rule Of Law Around The Wordl, Association
of Tiras Lawyers of America, 2000.
7.
John Hnery Maryman, The Civil Law Tradition And Lathin America, 127, 2nd
ed., 1985.
8.
Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Laut Internasional, Badan
Pembinaan Hukum, Jakarta, 1983, cet, ke-2.
9.
Ronny Hanitijo Soemintro, Beberapa Masalah Dalam Studi Hukum dan
Masyarakat, Remaja Karya, Bandung, 1985, cet. 1.
10. _______________,
Hukum
Dan Masyarakat, Alumni, Bandung, 1985, Cet. 1.
11. Satjipto Rahardjo, Aneka
Persoalan Hukum dan Masyarakat, Alumni, Bandung, 1977, cet.1.
12. Shidarta, Karakteristik Penalaran Hukum Dalam Konteks
Ke Indonesiaan, CV. Utomo, Bandung, 2006, cet. 1.
13. Soerjono Soekanto, Perspektif
Teoritis Studi Hukum Dalam Masyarakat, Rajawali, Jakarta, 1985.
14. Sudarto, Hukum dan
Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1977, cet. 1.
15. Thep Huibers, Filasafat
Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Yogyakarta, Jakarta, 1988, cet. ke-4.
16. Jurnal Tata Negara, Pemikiran
Untuk Demokrasi dan Negara Hukum, Beberapa Teori Dalam Hukum Tata Negara,
Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Vol. 1
No. 1, Juli 2003.
17. Aryanto Sutadi,
Naskah Akademik Tentang Penyelenggaraan
Kemanan Negara Republik Indonesia, Draft Ke-4, Juli 2008.
DAFTAR PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
1. Republik Indonesia,
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2. _______________,
Undang-Undang Darurat Tahun 1951
tentang Larangan Membawa Bahan Peledak, Senjata Api, Senjata Tajam, dan
Barang-barang Berbahaya Lainnya Tanpa Izin
3. _______________,
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
4. _______________,
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983
tentang Zona Ekonomi Eksklusif.
5. _______________,
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on the
Law of the Sea (Konvensi Peerserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut).
6. _______________,
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997
tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
7. _______________,
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
8. _______________, Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2002 Tentang Pertahanan.
9. _______________,
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2002
tentang Pembentukan Kabupaten Mamasa.
10. _______________,
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
11. _______________,
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004
tentang Perikanan.
12. _______________, Undang-Undang
Nomor 34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia.
13. _______________,
Peraturan Presiden Nomor 7 tahun
2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Menengah Nasional Tahun
2004-2009.
14. _______________,
Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2000 tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia
dan Kepolisian Negara Republik Indonesia.
15. _______________,
Ketetapan MPR Nomor VII/MPR/2000 tentang Peran Tentara Nasional Indonesia dan
Kepolisian Negara Republik Indonesia.
16. _______________,
Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik
Indonesia Nomor 24 Tahun 2007 tentang Sistem Manajemen Pengamanan Organisasi,
Perusahaan dan/atau Instansi/Lembaga Pemerintah.
17. _______________,
Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2008
tentang Pedoman Dasar Strategi dan Implementasi Pemolisian Masyarakat Dalam
Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.
18. _______________,
Rancangan Undang-Undang tentang Penanganan Konflik Sosial.
DAFTAR ARTIKEL
1.
Adrianus
Meliala, Mewujudkan Supremasi Hukum di Tengah Perubahan Sosial, makalah
disampaikan dalam pada seminar yang diselenggarakan oleh Puslit. Kemasyarakatan
LIPI Jakarta bekerjasama dengan Sespimpol, Jakarta 17 Mei 2004.
2.
Naskah Akademik Sistem Keamanan Nasional, Lembaga
Ketahanan Nasional Republik Indonesia.
[1][1] Dalam Pasal 1 butir 6 Peraturan Kapolri
Nomor 24 Tahun 2007 tentang Sistem Manajemen Pengamanan Organisasi, Perusahaan
dan/atau Instansi/Lembaga Pemerintah, Satpam adalah: “Satuan atau kelompok
petugas yang dibentuk oleh instansi/badan usaha untuk melaksanakan pengamanan
dalam rangka menyelenggarakan keamanan swakarsa di lingkungan kerjanya.”
[2][2] Thep Huibers, Filasafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Yogyakarta, Jakarta, 1988, cet. ke-4, hal 66.
[3][3] Jurnal Tata Negara, Pemikiran Untuk Demokrasi dan Negara Hukum,
Beberapa Teori Dalam Hukum Tata Negara, Pusat Studi Hukum Tata Negara
Fakultas Hukum Universitas Indonesia,
Vol. 1 No. 1, Juli 2003., hal.
312-313.
[4][4] Hak atas rasa aman merupakan salah satu
Hak Asasi Manusia yang dilindungi oleh Konstitusi UUD 1945, dalam Pasal 28G.
[5][5] Aryanto Sutadi, Naskah Akademik
Tentang Penyelenggaraan Kemanan Negara Republik Indonesia, Draft Ke-4, Juli
2008, hal. 20.
[6][6] Naskah Akademik Sistem Keamanan Nasional, yang dibuat oleh Lembaga Ketahanan Nasional Republik
Indonesia, hal. 28-29.
[7][7] Shidarta, Karakteristik Penalaran
Hukum Dalam Konteks Ke Indonesiaan, CV. Utomo, Bandung, 2006, cet. 1, hal.
406.
[8][8] Lihat Pasal 1 butir 7 Peraturan Kapolri Nomor 7 Tahun 2008 tentang Pedoman
Dasar Strategi dan Implementasi Pemolisian Masyarakat Dalam Penyelenggaraan
Tugas Polri.
[9][9] Pasal 1 butir 19 KUHAP memberikan pengertian tentang tertangkap tangan,
adalah: tertangkapnya seorang pada waktu sedang melakukan tindak pidana, atau
dengan segera sesudah beberpa saat tindak pidana itu dilakukan, atau sesaat
kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya, atau
apabila sesaat kemudian padanya ditemukan benda yang diduga keras telah
dipergunakan untuk melakukan tindak pidana itu yang menunjukkan bahwa ia adalah
pelakunya atau turut melakukan atau membantu melakukan tindakan.
[10][10] Pasal 6 ayat (1): Tugas pokok
Satpam adalah menyelenggarakan keamanan dan ketertiban di lingkungan/tempat
kerjanya yang meliputi aspek pengamanan fisik, personel, informasi dan
pengamanan teknis lainnya.
[11][11] Pasal 6 ayat (2): Fungsi
Satpam adalah untuk melindungi dan
mengayomi lingkungan/tempat kerjanya dari setiap gangguan keamanan, serta
menegakkan peraturan dan tata tertib yang berlaku di lingkungan kerjanya.
[12][12] Pasal 6 ayat (3): Dalam
melaksanakan tugasnya sebagai pengemban fungsi kepolisian terbatas, Satpam
berperan: (a) Unsur pembantu pimpinan organisasi, perusahaan dan/atau instansi
lembaga pemerintah, pengguna Satpam di bidang pembinaan keamanan dan ketertiban
lingkungan/tempat kerjanya; (b) Unsur pembantu Polri dalam pembinaan keamanan
dan ketertiban masyarakat, penegakan peraturan perundang-undangan serta
menumbuhkan kesadaran dan kewaspadaan keamanan (security mindedness dan security awarness) dilingkungan/tempat
kerjanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar